Selasa, 12 Maret 2019

Jakarta Underkoper


“Pergi ke Jakarta.” Adalah kalimat yang sejak lama ku takuti di hatiku. Dalam benakku, Jakarta adalah kota yang dipenuhi manusia-manusia ambisius, egois dan melakukan segala cara untuk dirinya atau dapat dipersingkat dengan sebutan orang jahat. Sedari kecil aku suka mengikuti berita di televisi atau membaca berita-berita yang ringan terlihat di internet. Mereka menggambarkan kota itu begitu negatif dan sesak, aku takut kesana.

20 Februari 2019, adalah kali pertamaku pergi menikmati Jakarta seorang diri. Malam-malam sebelum itu, jujur saja aku sempat beberapa kali berlinang air mata dan lesu. Tak seperti biasanya, aku yang senang berpetualang ke tempat baru menjadi pribadi yang enggan. Benar-benar perdana dan seorang diri. Kala itu aku sempat menghubungi saudaraku disana, yang kutahu sudah memiliki hunian yang nyaman dan posisi yang mendambakan. Tapi keluarga adalah tai bagiku, begitu bau. Beberapa kali dan jauh-jauh hari ku hubungi dia melalui aplikasi chatting sejuta umat, hanya centang biru yang ku dapat. Yang lebih bau adalah, saat hari H aku tiba di kota itu, aku tetap mencoba menghubungi, maklum aku benar-benar buta soal Jakarta yang besar, tapi tetap centang biru yang ku dapat. Mengapa tidak menelpon? Karna aku segan jikalau ku telepon, dia masih aktif di meja kerjanya. Oh dan satu lagi, dia balik menghubungiku setelah beberapa hari saat aku sudah di kereta menuju rumah, seakan menunggu waktu ketika aku pulang. Manusia selalu ingin terlihat baik,

Mengapa aku pergi kesana jika aku takut?  Sebenarnya, beberapa bulan setelah aku menganggur aku merasa sepertinya aku perlu mengembangkan sayapku ke kota lain. Jakarta menjadi kota idola para jobseeker karna begitu banyak lowongan yang ditawarkan dan kota itu merupakan tempat menjamurnya kantor pusat korporasi-korporasi di Indonesia.  Hal itu memperbesar peluang kerja bagi makhluk-makhluk jobless untuk meraih harapan. Aku mengulur waktuku untuk kesana dengan alasan aku tak punya siapa-siapa disana dan aku tak pernah kesana sebelumnya, hanya sekali ke Kantor Kementerian Pertanian dan mengunjungi Kick Andy Show dalam rangkaian studi wisata kuliah, tentu saja itu tidak dapat disebut sebagai “berkunjung dan berkeliling”. Resikonya terlalu besar untuk tiba-tiba nge-kost dan hidup tanpa bimbingan seorang pun di kota sebesar itu.

Baiklah mari langsung menjawab pertanyaannya. Aku berangkat untuk mengikuti tes di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, Astra Motor. Meski baru tahap pertama, perusahaan di bawah naungan Astra International ini cukup membuatku berani untuk break my limit. Pikirku “ini perusahaan yang layak untuk dikejar meski harus mengeluarkan banyak biaya dan tenaga, meski harus meraba-raba di kota itu. Aku tahu aku bisa.”. Tidak dipungkiri, pun aku sempat meragu dan bertanya kepada mama, “Ma, tidak apa-apakah aku kesana sendiri? Aku takut aku gagal lagi”. Ya mengingat sudah berbulan-bulan sejak aku lulus strata satu, sudah beberapa tes yang membuahkan kegagalan dan aku sempat down. Hal yang sangat wajar dong, toh aku belum nyampai kesempurnaan. Beliau menjawab, “Ya gak papa, dicoba saja. Tapi gak usah berangkat kalau kamu pesimis.”. Kata-katanya seakan mencambuk jiwa beraniku yang sempat tidur. Aku harus kembali bangkit, berani untuk melangkah. Aku juga bangga kepada mamaku, beliau dengan besar hati melepas putri tunggalnya seorang diri ke kota terpadat di Indonesia, yang juga pernah mebekaskan kesan tidak seru di benaknya.

Kereta menjadi transportasi yang kupilih untuk pergi kesana. Maklum, sebagai seseorang yang belum menghasilkan uang sendiri, pesawat menjadi moda transportasi yang begitu mahal. Kala itu nominalnya sudah mencapai kepala lima dalam ratusan ribu, tabunganku dengan tegas menolaknya. Semenjak lulus aku tidak lagi minta uang saku, hanya kasih Tuhan dan sisa tabungan semasa kuliah yang kugunakan untuk biaya keperluanku. Kalau naik bus, sudah pasti aku tidak sanggup, meski lebih murah. Sudah terbayang berapa kantong plastik yang akan kuisi nantinya. Eh kecuali kalau naik bus patas, aman sih tapi tetap tidak ingin. Fajar Utama Yk menjadi pilihan teraman dan ternyamanku, pun kantong tidak terlalu menjerit. Subuh itu mama mengantarku untuk mengejar Prameks ke Jogja. Setibanya di Stasiun Tugu, kekasihku menyambut dengan senyum hangat untuk membantuku menaikkan barang-barang dan ya namanya juga anak muda, tidak afdol jika tidak bertemu dahulu untuk berpisah meski sementara.

Stasiun Jatinegara, kata temanku lebih dekat turun disitu untuk kemudian ke kostnya di Pasar Rebo. Karna masih jam 3 sore, otomatis temanku belum pulang kerja dan aku belum punya tempat untuk beristirahat. Aku memanfaatkan waktu untuk cek lokasi tes. Jatinegara – Sunter ternyata begitu jauh, astaga. Di lokasi, dengan koper ditangan, baju sangat non formal dan muka capek akibat perjalanan 9 jam, aku memberanikan diri untuk masuk ke gedung Head Office dan bertanya dengan staff disana untuk memastikan gedung inilah lokasi tes-ku nanti. Pak satpam sedikit memandangku aneh, namun untungnya masih tetap ramah. Ia mengira aku baru turun dari pesawat, ku iyakan saja karna aku malas menjelaskan hehe.

Sunter – Pasar Rebo kuarungi dengan tiga kali ojek online. Untungnya aku mendapat driver-driver baik yang tidak membahayakan nyawaku. Malah mereka memberiku tips naik ojol dari lokasi kost temanku yang jauh, mengingatkan untuk berhati-hati dan tetap waspada. “Hati-hati ya neng, tasnya taroh depan.”, katanya hangat. Sempat aku berhenti di PGC, saking ngga tahunya dimana harus berhenti, dan disitu sinyal Tri hilang entah kemana. Bingung bagaimana harus memesan ojol selanjutnya, aku memberanikan diri untuk meminta seorang mbak berhijab untuk membagi kuota internetnya denganku. Baik sekali dia mau, aku menawarkan sekotak susu untuk mengganti jasa baiknya dan dia menolak. Usut punya usut, mungkin dia takut aku memasukkan obat-obat aneh ke dalamnya haha ternyata harus begitu untuk tetap aman di Jakarta ya?

Kanugrahan Rahayu atau kusapa Kanu, teman kristianiku sedari bangku SMA. Dia begitu baik menerimaku di kostnya. Pertama kali aku cerita soal ke Jakarta, dia langsung menawariku untuk tinggal disana. Kami sebenarnya tidak terlalu sering ngobrol karna memang waktu itu sama-sama pendiam, tapi aku begitu bersyukur karna kasihnya padaku. Di kostnya mungkin sebenarnya dikenakan biaya untuk tamu yang menginap beberapa hari, tapi dia terus mengelak dan berkata “Ngga bayar kok kat. Gapapa kok, beneran.”. Dia yang merawatku waktu aku disambut meriang muntah-muntah selepas naik ojol membelah Jakarta tanpa jaket tebal hehe. Tidak berhenti disitu, dia juga memberkatiku dengan membelikanku tiket kereta pulang. Dasar baik!

Begitu riuh, begitu kesanku akan Jakarta. Sebagai seseorang yang besar di kota kecil dan berkuliah di Yogyakarta, Jakarta begitu baru buatku. Setiap orang terlihat terburu-buru, lelah, waspada dan ingin menang sendiri. Motor tidak akan berhenti tepat di belakang zebra cross, bahkan kalau perlu terobos saja lampu merahnya! Trans Jakarta begitu sesak dipadati pekerja yang sibuk dengan handphonenya (thanks Ridho yang mengajariku naik TJ dan download aplikasi Trafi!). Satu hal besar yang kudapat disini, semua orang berjuang dengan sungguh-sungguh. Mereka mengajariku bahwa memang hidup kadang berombak dan kita harus berusaha mendayung dengan kuat. Kalau perlu beli motor penggerak kapal biar jalannya lebih kencang! Tidak dipungkiri, setiap orang pasti memiliki permasalahan yang mungkin tidak terlihat di mata kita but yes, show must go on. Lelah boleh, berhenti sejenak boleh, tapi harus bangkit lagi. Dan setiap perjuanganmu pasti berbuah hasil yang manis di waktu yang tepat.

Aku belajar untuk menghargai hidup lebih lagi. Aku bahagia karna Tuhan menguatkanku untuk mendobrak batas yang kubuat sendiri. Tentu saja Dia tidak membiarkanku sendirian, aku bersyukur atas orang-orang baik yang menjaga, menolong dan menyeponsoriku di perjalanan perdanaku ini. Sabtu di kereta Jayakarta Premium memberiku banyak waktu untuk bersyukur dan berharap. Aku senang aku bisa mengenal Jakarta dan memberanikan diriku lebih lagi. Aku berkata kepada-Nya bahwa aku siap untuk Jakarta esok dan selanjutnya. Entah itukah rencanaNya atau bukan, tapi aku percaya Tuhan menyediakan dan Ia tahu waktu yang terbaik.

Doaku kala itu adalah doa Yabes dalam 1 Tawarikh 4 ayat ke 40:
‘ Yabes berseru kepada Allah Israel, katanya: “Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku” Dan Allah mengabulkan permintaannya itu. ’
Dan terjadilah padaku juga.

Akupun berdoa saat ini, seperti pada kalimat kedua dai 2 Tawarikh 26 ayat 5:
‘ Dan selama ia mencari TUHAN, Allah membuat segala usahanya berhasil. ‘
Begitu pun padaku. Amin.

Terimakasih sudah membaca kisahku. Doakan aku dan kehidupan karir ku selanjutnya, okay?

Best regards!
Katya, yang masih menunggu hasil tahap seleksi ke-2 dan petualangan-petualanganku selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yuk dikomen