“Pergi ke
Jakarta.” Adalah kalimat yang sejak lama ku takuti di hatiku. Dalam benakku,
Jakarta adalah kota yang dipenuhi manusia-manusia ambisius, egois dan melakukan
segala cara untuk dirinya atau dapat dipersingkat dengan sebutan orang jahat. Sedari
kecil aku suka mengikuti berita di televisi atau membaca berita-berita yang
ringan terlihat di internet. Mereka menggambarkan kota itu begitu negatif dan
sesak, aku takut kesana.
20 Februari
2019, adalah kali pertamaku pergi menikmati Jakarta seorang diri. Malam-malam
sebelum itu, jujur saja aku sempat beberapa kali berlinang air mata dan lesu.
Tak seperti biasanya, aku yang senang berpetualang ke tempat baru menjadi pribadi
yang enggan. Benar-benar perdana dan seorang diri. Kala itu aku sempat
menghubungi saudaraku disana, yang kutahu sudah memiliki hunian yang nyaman dan
posisi yang mendambakan. Tapi keluarga adalah tai bagiku, begitu bau. Beberapa kali
dan jauh-jauh hari ku hubungi dia melalui aplikasi chatting sejuta umat, hanya
centang biru yang ku dapat. Yang lebih bau adalah, saat hari H aku tiba di kota
itu, aku tetap mencoba menghubungi, maklum aku benar-benar buta soal Jakarta
yang besar, tapi tetap centang biru yang ku dapat. Mengapa tidak menelpon? Karna
aku segan jikalau ku telepon, dia masih aktif di meja kerjanya. Oh dan satu lagi,
dia balik menghubungiku setelah beberapa hari saat aku sudah di kereta menuju
rumah, seakan menunggu waktu ketika aku pulang. Manusia selalu ingin terlihat baik,
Mengapa aku
pergi kesana jika aku takut? Sebenarnya,
beberapa bulan setelah aku menganggur aku merasa sepertinya aku perlu
mengembangkan sayapku ke kota lain. Jakarta menjadi kota idola para jobseeker
karna begitu banyak lowongan yang ditawarkan dan kota itu merupakan tempat
menjamurnya kantor pusat korporasi-korporasi di Indonesia. Hal itu memperbesar peluang kerja bagi
makhluk-makhluk jobless untuk meraih harapan. Aku mengulur waktuku untuk kesana
dengan alasan aku tak punya siapa-siapa disana dan aku tak pernah kesana
sebelumnya, hanya sekali ke Kantor Kementerian Pertanian dan mengunjungi Kick
Andy Show dalam rangkaian studi wisata kuliah, tentu saja itu tidak dapat
disebut sebagai “berkunjung dan berkeliling”. Resikonya terlalu besar untuk
tiba-tiba nge-kost dan hidup tanpa bimbingan seorang pun di kota sebesar itu.
Baiklah mari
langsung menjawab pertanyaannya. Aku berangkat untuk mengikuti tes di salah
satu perusahaan terbesar di Indonesia, Astra Motor. Meski baru tahap pertama,
perusahaan di bawah naungan Astra International ini cukup membuatku berani
untuk break my limit. Pikirku “ini perusahaan yang layak untuk dikejar meski
harus mengeluarkan banyak biaya dan tenaga, meski harus meraba-raba di kota
itu. Aku tahu aku bisa.”. Tidak dipungkiri, pun aku sempat meragu dan bertanya
kepada mama, “Ma, tidak apa-apakah aku kesana sendiri? Aku takut aku gagal lagi”.
Ya mengingat sudah berbulan-bulan sejak aku lulus strata satu, sudah beberapa
tes yang membuahkan kegagalan dan aku sempat down. Hal yang sangat wajar dong,
toh aku belum nyampai kesempurnaan. Beliau menjawab, “Ya gak papa, dicoba saja. Tapi
gak usah berangkat kalau kamu pesimis.”. Kata-katanya seakan mencambuk jiwa
beraniku yang sempat tidur. Aku harus kembali bangkit, berani untuk melangkah. Aku
juga bangga kepada mamaku, beliau dengan besar hati melepas putri tunggalnya
seorang diri ke kota terpadat di Indonesia, yang juga pernah mebekaskan kesan
tidak seru di benaknya.
Kereta
menjadi transportasi yang kupilih untuk pergi kesana. Maklum, sebagai seseorang
yang belum menghasilkan uang sendiri, pesawat menjadi moda transportasi yang
begitu mahal. Kala itu nominalnya sudah mencapai kepala lima dalam ratusan
ribu, tabunganku dengan tegas menolaknya. Semenjak lulus aku tidak lagi minta
uang saku, hanya kasih Tuhan dan sisa tabungan semasa kuliah yang kugunakan
untuk biaya keperluanku. Kalau naik bus, sudah pasti aku tidak sanggup, meski
lebih murah. Sudah terbayang berapa kantong plastik yang akan kuisi nantinya. Eh
kecuali kalau naik bus patas, aman sih tapi tetap tidak ingin. Fajar Utama Yk menjadi
pilihan teraman dan ternyamanku, pun kantong tidak terlalu menjerit. Subuh itu mama mengantarku untuk mengejar
Prameks ke Jogja. Setibanya di Stasiun Tugu, kekasihku menyambut dengan senyum
hangat untuk membantuku menaikkan barang-barang dan ya namanya juga anak muda,
tidak afdol jika tidak bertemu dahulu untuk berpisah meski sementara.
Stasiun Jatinegara,
kata temanku lebih dekat turun disitu untuk kemudian ke kostnya di Pasar Rebo. Karna
masih jam 3 sore, otomatis temanku belum pulang kerja dan aku belum punya
tempat untuk beristirahat. Aku memanfaatkan waktu untuk cek lokasi tes. Jatinegara
– Sunter ternyata begitu jauh, astaga. Di lokasi, dengan koper ditangan, baju
sangat non formal dan muka capek akibat perjalanan 9 jam, aku memberanikan diri
untuk masuk ke gedung Head Office dan bertanya dengan staff disana untuk
memastikan gedung inilah lokasi tes-ku nanti. Pak satpam sedikit memandangku aneh,
namun untungnya masih tetap ramah. Ia mengira aku baru turun dari pesawat, ku
iyakan saja karna aku malas menjelaskan hehe.
Sunter – Pasar
Rebo kuarungi dengan tiga kali ojek online. Untungnya aku mendapat driver-driver
baik yang tidak membahayakan nyawaku. Malah mereka memberiku tips naik ojol
dari lokasi kost temanku yang jauh, mengingatkan untuk berhati-hati dan tetap
waspada. “Hati-hati ya neng, tasnya taroh depan.”, katanya hangat. Sempat aku
berhenti di PGC, saking ngga tahunya dimana harus berhenti, dan disitu sinyal
Tri hilang entah kemana. Bingung bagaimana harus memesan ojol selanjutnya, aku
memberanikan diri untuk meminta seorang mbak berhijab untuk membagi kuota internetnya
denganku. Baik sekali dia mau, aku menawarkan sekotak susu untuk mengganti jasa
baiknya dan dia menolak. Usut punya usut, mungkin dia takut aku memasukkan
obat-obat aneh ke dalamnya haha ternyata harus begitu untuk tetap aman di
Jakarta ya?
Kanugrahan Rahayu
atau kusapa Kanu, teman kristianiku sedari bangku SMA. Dia begitu baik
menerimaku di kostnya. Pertama kali aku cerita soal ke Jakarta, dia langsung
menawariku untuk tinggal disana. Kami sebenarnya tidak terlalu sering ngobrol
karna memang waktu itu sama-sama pendiam, tapi aku begitu bersyukur karna
kasihnya padaku. Di kostnya mungkin sebenarnya dikenakan biaya untuk tamu yang
menginap beberapa hari, tapi dia terus mengelak dan berkata “Ngga bayar kok
kat. Gapapa kok, beneran.”. Dia yang merawatku waktu aku disambut meriang
muntah-muntah selepas naik ojol membelah Jakarta tanpa jaket tebal hehe. Tidak berhenti
disitu, dia juga memberkatiku dengan membelikanku tiket kereta pulang. Dasar
baik!
Begitu riuh,
begitu kesanku akan Jakarta. Sebagai seseorang yang besar di kota kecil dan
berkuliah di Yogyakarta, Jakarta begitu baru buatku. Setiap orang terlihat
terburu-buru, lelah, waspada dan ingin menang sendiri. Motor tidak akan
berhenti tepat di belakang zebra cross, bahkan kalau perlu terobos saja lampu
merahnya! Trans Jakarta begitu sesak dipadati pekerja yang sibuk dengan
handphonenya (thanks Ridho yang mengajariku naik TJ dan download aplikasi
Trafi!). Satu hal besar yang kudapat disini, semua orang berjuang dengan
sungguh-sungguh. Mereka mengajariku bahwa memang hidup kadang berombak dan
kita harus berusaha mendayung dengan kuat. Kalau perlu beli motor penggerak kapal
biar jalannya lebih kencang! Tidak dipungkiri, setiap orang pasti memiliki
permasalahan yang mungkin tidak terlihat di mata kita but yes, show must go on.
Lelah boleh, berhenti sejenak boleh, tapi harus bangkit lagi. Dan setiap
perjuanganmu pasti berbuah hasil yang manis di waktu yang tepat.
Aku belajar
untuk menghargai hidup lebih lagi. Aku bahagia karna Tuhan menguatkanku untuk
mendobrak batas yang kubuat sendiri. Tentu saja Dia tidak membiarkanku
sendirian, aku bersyukur atas orang-orang baik yang menjaga, menolong dan
menyeponsoriku di perjalanan perdanaku ini. Sabtu di kereta Jayakarta Premium
memberiku banyak waktu untuk bersyukur dan berharap. Aku senang aku bisa
mengenal Jakarta dan memberanikan diriku lebih lagi. Aku berkata kepada-Nya
bahwa aku siap untuk Jakarta esok dan selanjutnya. Entah itukah rencanaNya atau
bukan, tapi aku percaya Tuhan menyediakan dan Ia tahu waktu yang terbaik.
Doaku kala
itu adalah doa Yabes dalam 1 Tawarikh 4 ayat ke 40:
‘ Yabes
berseru kepada Allah Israel, katanya: “Kiranya Engkau memberkati aku
berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan
melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku” Dan
Allah mengabulkan permintaannya itu. ’
Dan terjadilah
padaku juga.
Akupun berdoa
saat ini, seperti pada kalimat kedua dai 2 Tawarikh 26 ayat 5:
‘ Dan
selama ia mencari TUHAN, Allah membuat segala usahanya berhasil. ‘
Begitu pun
padaku. Amin.
Terimakasih sudah
membaca kisahku. Doakan aku dan kehidupan karir ku selanjutnya, okay?
Best regards!
Katya, yang
masih menunggu hasil tahap seleksi ke-2 dan petualangan-petualanganku selanjutnya.